Jika seluruh dunia mengatakan bahwa hidup ini tak akan pernah seimbang, aku
setuju ...
Jika seluruh dunia mengatakan bahwa manusia tak akan pernah puas, aku setuju
...
dan, ....
Jika seluruh dunia menjudge diriku termasuk dalam kategori itu, aku tak
akan mengelak ...
*********************************
“Ayah.... apa Ayah yakin bunda akan kembali menunjukkan wajahnya di balik
layar perahu itu lagi ?”
Ayahku hanya terdiam mendengar ucapanku yang bagaikan dentuman lonceng yang
memengakkan telinga. Dan kini, disinilah aku berdiri bersama dengan ayahku yang
begitu ku sayangi. Ralat, tak hanya kusayangi tetapi kucintai.
10 tahun sudah aku hidup dalam ketidak pastian, menunggu seseorang yang begitu
kudambakan. Bunda. Yah, aku menunggunya selama 10 tahun ini
bersama ayahku. Ia, meninggalkan kami berdua dengan alasan akan mencari sebuah
kebahagiaan yang akan ia bawakan untukku dan ayahku.
“Nak, tak usahlah kau bersedih. Kau tahu ? dunia ini akan ikut bersedih
ketika kau bersedih. Lihatlah awan disana, dia menampakkan wujud yang mendung.”
“Tidak ayah, aku tidak sedih. Tetapi aku takut, takut jika saja kesdeihan itu
seketika akan melandaku.”
“Berjanjilah kepada ayah, kau akan menghilangkan rasa ketakutan itu. Karena
ayah akan berjanji menghalau kesedihan itu datang merundungmu, Nak!”
Aku hanya mengangguk tersenyum kepada Ayah, 18 tahun sudah ia merawatku bahkan
ketika bunda masih bersamaku disini, ia yang berperan penting dalam menjagaku.
Bahkan saat detik – detik bunda akan meninggalkan kami, ia yang membuatku
tenang dan mengikhlaskan bunda pergi.
“Ikhlaskanlah
Bunda untuk mencari kebahagiaan untukmu, Nak. Bundamu, memiliki niat baik untukmu
jadi balaslah kebaikan bunda dengan mengikhlaskannya.”
Kata – kata itu
kembali terngiang di benakku berputak bak radio yang tak layak pakai.
Jam di dinding ruang tamuku menunjukkan pukul 08.45 biasanya ayah akan
berangkat ke pasar untuk mengantar hasil tangkapan lautnya untuk dijualnya oleh
pedagang di sana.
“Ayah tak berangkat ke pasar?”
“Sebentar lagi ran ... coba kesini sebentar ran, ayah ingin mengatakan sesuatu
kepadamu”
“Ada apa yah ?”
Segera ku geser
tubuhku ke dekat bale – bale yang di duduki oleh ayah, ku tatap wajahnya
lekat – lekat. Kusimpan di memoriku seluruh lekukan wajahnya, takut esok aku
tak dapat menatapnya lagi.
“Berjanjilah kau akan menghilangkan rasa ketakutanmu, Nak meskipun ayah tak
ada di sampingmu”
“Apa yang kau katakan, Yah ? Tak usah katakan hal seperti itu. Sekarang
lekaslah Ayah membawa hasil tangkapan laut itu agar nantinya Ayah tak pulang
larut.”
“Yasudah, ayah berangkat dulu yah.”
“Iya yah, hati – hati yah.”
Sehabis percakapan itu, ayah pun berangkat ke pasar dan aku pun bergegas untuk
berbenah rumah. Tengah asik berbenah, samar – samar terdengar ketukan dari
balik pintu dengan langkah cepat aku pun bergegas membukanya sebab ketukannya
bak seseorang yang tengah di kejar oleh seekor anjing.
“Tunggu sebentar”
“Ranti .. ran... cepetan buka pintunya”
“Oh, rubby. Ada apa rub ? kamu seperti seseorang yang dikejar anjing saja”
“Tidak ran ini lebih parah dari aku dikejar oleh seekor anjing, Ayahmu ran, dia
... dia ... sekarang ada di Balai Pengobatan.”
“Astagfirullah Aladzim ..”
“Tapi ran ...”
Tanpa menghiraukan perkataan Ruby lagi aku pun bergegas ke balai
pengobatan, kini aku tak lagi memikirkan diriku. Kilasan wajah Ayah sebelum ia
berangkat tiba – tiba saja terputar bagai televisi rusak. Tuhan, jika aku
bisa meminta satu permohonan ku mohon selamatkanlah Ayah.
Setiba di Balai pengobatan aku pun segera menghambur ke tempat Ayah terbaring,
cairan kental berwarna merah yang mengalir deras tepat di bagian keningnya. Ku
alihkan tatapanku kepada suara tangisan seorang wanita di samping Ayah, suara
seseorang yang telah lama ku rindukan.
“Bun... bunda ?”
seluruh indra penghliatanku seketika buram dan kini menjadi gelap, yang
dapat ku lakukan hanya mendengar suara isakan seseorang yang menjadi – jadi dan
teriakan beberapa orang yang menyebutkan namaku.
Perlahan warna gelap yang menerpaku tergantikan oleh secerca cahaya yang
menyilaukan mataku, begitu cepat hingga membuat mataku terasa silau akan itu.
“Ran... ranti”
Terdemgar suara
lelaki yang begitu lembut memanggilku ku palingkan wajahku ke kanan dan kekiri
namun nihil, tak seorangpun yang berada di sini selain diriku. Namun, setitik
cahaya yang bergerak dengan cepat menerpaku dan suara itu pun muncul lagi ...
“Ranti .. Anakku”
“Ayah ? Apa kau disana ? Kumohon tunjukkan dirimu, Yah.”
“Ranti ..”
Sesosok lelaki pun muncul di hadapanku dengan berpakaian putih bersih, ku
dongakkan wajahku untuk melihat siapa orang tersebut dan ternyata itu adalah
sosok ayah. Wajahnya begitu bercahaya menyilaukan mataku.
“Ayah ...”
Akupun berdiri
memeluknya, memeluknya dengan begitu erat. Kuharap ini bukan seperti yang ada
di sinetron ataupun film – film yang ada di bioskop ketika seluruh kesadarannya
diambil oleh alam bawah sadarnya dan ketika itu mereka berimajinasi bertemu
dengan sosok, seseorang yang telah tiada di dunia ini. Aku yakin ayah masih
hidup.
“Iya nak,”
“Ayah sayang sama ranti”
“Ranti juga sayang ayah, jangan tinggalin ranti yah. Ayah tahu kan, kalau ranti
gak bakal punya siapa – siapa lagi kalau gak ada ayah?”
“Shuuut ... kamu tak boleh berkata seperti itu, apa kau tak lihat bundamu kini
telah datang menemanimu”
“Iya yah, Ranti tahu tapi. Aku mau kita berkumpul yah, ranti tak ingin
kehilangan orang yang ranti sayangi lagi. Ranti mohon”
“Kamu jangan di butakan oleh keegoisanmu, Nak. Setiap manusia akan datang dan
pergi, tak ada yang kekal di dunia ini.”
“Kalau begitu ranti ingin ikut bersama ayah. Ranti mohon ... jangan tinggalkan
ranti, Yah”
“Bundamu masih membutuhkanmu, Nak. Jadilah anak yang berbakti kepada Bunda.”
Kutatap tangan Ayah yang mengusap puncuk kepalaku dengan begitu lembut, tanpa
sadar mataku menitihkan air mata. Kilasan kasih sayang Ayah semasa dulu
terputar dengan rapihnya, disaat ia menjagaku ketika sakit, disaat ia
menenangkanku ketika aku bermimpi dengan meronta – ronta menyebut nama Bunda,
dan di saat ia berusaha menenangkan diriku ketika ketakutanku akan di hari ini
datang.
“Ayah ... ayah ...aku mohon tinggallah sejenak”
“Maaf nak, ayah akan pergi. tenang saja, ayah akan mengawasimu di atas sana.
Ayah menyayangimu selalu Ranti. Ingatlah pesan ayah.”
Seketika cahaya yang serupa ketika sosok ayah datang muncul dalam sepersekian
detik menelan sosok ayah. Selanjutnya, suara – suara wanita dan beberapa orang
bersorak memanggilku dan aku terisap oleh secerca cahaya yang begitu hebat dan
tersentak dengan hebat.
“AYAAHHH !!”
“Ranti ... ranti anakku”
“Bunda... Ayah bun, ayah mana ?”
“Ayah mu di periksa oleh perawat.”
Seorang wanita yang bertubuh berisi datang menghampiri kami, dengan wajah
yang begitu iba menatapku dan bunda.
“Ada apa sus?”
“Saya minta maaf bu, suami anda tak dapat di tolong. Sebab peralatan di dusun
ini tak memadai”
“Kalau begitu rujuklah ke tempat yang dapat menangani, saya mohon !”
“Maaf tapi beliau tak dapat tertolong lagi”
Ribuan pisau
menghujam jantungku, beberapa baja menghantam hatiku dengan bertubi – tubi
sangat sakit dan pedih itu yang ku rasakan ketika, mendengarkan perkataak
wanita itu. Aku hanya menangis dalam diam, tersedu dalam hati, seluruhnya tak
dapat ku rasakan lagi bagaikan sekujur tubuhku telah kebas oleh seluruh rasa
yang ada.
******
Mengingat seluruh kejadian selama 8 bulan lalu membuatku rindu akan kehadiran
Ayah, bagaimana kabar ayah disana ? Apakah Ayah sekarang melihat diriku yang
sekarang ? Kuharap ia bangga melihat diriku sekarang yang telah berhasil,
menjadi seorang pengusaha ikan terbesar. Kuambil sebuah kotak yang selalu ku
buka ketika aku merindukan ayah, yah sebuah kotak pesan dari Ayah untukku.
Kita aku rindu dengannya aku akan menulis beberapa pesan untuknya , beberapa
surat untuknya berharap ia akan membacanya di alam sana.
Ayahku tercinta,
"Ayahnda...
Saya tahu ayah tidak akan membaca surat ini, tetapi saya ingin menyampaikan
perasaan saya kepadamu... Hari ini adalah hari ke-218 semenjak kau meninggal
dan saya ingin memberitahu ayah apa saja yang telah saya lakukan... Seperti
yang ayah telah ajarkan pada saya, saya melakukan sholat bersama orang-orang
lain di masjid, kemudian kembali ke rumah, mencium kepala ibu dan mengucapkan
kata – kata sayang kepadanya..."
"Saya
kemudian mengerjakai beberapa tugasku sebagai kepala di suatu usaha
bidang perikanan, aku telah mengatakan bukan bahwa aku menjadi sebuah pemimpin
di usaha perikanan di dusun ini. Dan tugas sebagai pemimpin aku jalani dengan
penuh amanah seperti yang kau ajarkan kepadaku Ayah..."
"Ketika
aku bersama bunda, aku selalu tidur di pangkuannya bermanja – manja ria
dengannya. Aku melepas rinduku, ku gunakan waktuku dengan begitu baik untuk
membayar banyaknya rindu yang tertampung untuk dapat bersama bunda..."
"Tetapi
ketika malam tiba saya mengintipnya dengan sembunyi – sembunyi, saya mendengarnya
menangis... Saya bergegas ke dalam dan saya mencoba untuk menenangkannya...
Ayahku, saya tahu betapa ayah sangat mencintai bunda dan bagaimana sedihnya
ayah ketika bunda menangis... Saya bertanya pada bunda dan bunda mengatakan
kepada saya bahwa ia tak apa – apa ia hanya tak menyangka dapat berada
disisiku..."
"Oh
ayahndaku, itu adalah hari yang sangat indah. Jujur ayah, dahulu aku berharap
dapat berkumpul bersamamu dan juga bunda. Namun, takdir berkata lain, suratan
takdir tak seperti yang kita inginkan, apa boleh buat? Aku hanya dapat
tersenyum diatas kesedihanku. Tetapi saya jamin ayah, saya akan selalu berdoa
kepada Tuhan dan bersyukur kepada-Nya atas segala sesuatu."
Seusai menuliskan surat tersebut, akupun melipatnya menjadi empat bagian dan
menyimpannya kedalam sebuah kotak. Kupeluk dengn begitu erat seakan ada yang
merebut kotak itu, tak akan ada yang merebutnya. Tak akan ! Ayah, aku
menyayangi mu, selalu. maka tenanglah disana bahagialah hingga aku dan bunda
akan menyusulmu.